Beranda | Artikel
Hari Raya dan Maknanya Dalam Islam
Senin, 3 Mei 2021

HARI RAYA DAN MAKNANYA DALAM ISLAM

Oleh
Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais

Hari raya adalah hari yang di dalamnya ditumpahkan segala rasa suka cita yang senantiasa dirayakan oleh umat-umat terdahulu hingga kita sekarang ini. Mereka mengungkapkan segala makna ‘ubudiah (peribadahan) kepada sembahan-sembahan mereka dengan berbagai macam acara yang menurut persangkaan mereka hal tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang dapat mendekatkan diri mereka dan memerintahkan kepada pemeluknya untuk menegakkan kembali fitrah mereka yang lurus dan kokoh mengakar pada jiwa-jiwa mereka. Namun di antara manusia lebih memilih perbuatan-perbuatan kosong yang tidak bermanfaat, baik ucapan ataupun perbuatan dan lebih condong kepada hawa nafsu mereka yang dipenuhi dengan keburukan dan kejelekkan, sehingga tidak lagi menghiraukan seruan fithrah mereka.

Islam melarang perbuatan-perbuatan (kosong yang tidak bermanfaat) seperti merayakan hari raya-hari rayanya orang-orang kafir ataupun ikut menyaksikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zur –perbuatan maksiat- dan apabila mereka melewati perbuatan yang sia-sia (main-main) mereka melewatinya dengan penuh kemuliaan“. [al-Furqan/25:73]

Para Ulama’ seperti Mujahid, Ibnu Sirin, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah hari raya jahiliyah.

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah merayakan dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah, maka beliau bersabda :

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ بِهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya yang kalian bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah, dan Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian : “Hari raya kurban dan hari berbuka.”. [HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu :

يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ

Wahai Abu Bakar sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita“.

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari Arafah, hari qurban dan hari-hari mina adalah hari raya kami, umat Islam dan hari-hari itu adalah hari makan dan minum“. [HR. Abu Daud, Nasa’ i dan Tirmidzi]

Hal seperti ini memberikan rasa yang lain bagi seorang muslim bahwasanya dia berbeda dengan penganut agama lain, yang bathil dan sesat, sebab merekapun memiliki hari raya – hari raya yang khusus. Dan ketika seorang muslim merasa bangga dengan selain dari kedua hari raya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini akan menyebabkan hilangnya rasa benci kepada orang kafir di dalam hatinya, dan menghilangkan rasa untuk berlepas diri dari mereka dan dari perbuatan mereka. Padahal hal tersebut merupakan prinsip yang paling mendasar dari aqidah seorang muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut“. [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya]

Dan saat itu pula rasa bangga dan cinta terhadap hari raya-hari raya kaum muslimin akan hilang sedikit demi sedikit dari hatinya, sehingga tidak tersisa sedikitpun.

Berkaitan dengan hal tersebut Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam Fatawanya: “Seorang hamba apabila menjadikan dari sebagian hajatnya bukan dari perkara-perkara yang disyariatkan maka akan memudarlah kecintaanya terhadap syariat dan keinginannya untuk mengambil manfaat dari syariat sesuai dengan penyimpanganya terhadap selain yang disyariatkan, berbeda dengan orang-orang yang mengarahkan kehendak dan keinginannya terhadap sesuatu yang disyariatkan maka dia lebih mengagungkan kecintaannya terhadap syariat dan lebih mengutamakan untuk mengambil manfaat dari apa yang disyariatkan sehingga semakin sempurnalah diinnya dan sempurnalah Islamnya. Oleh karenanya kamu dapati orang yang gemar mendengarkan musik dan lagu –qashidah- untuk kebaikan hatinya (katanya!) akan berkurang kecintaannya untuk mendengarkan Al-Qur’an“. [Al-Fatawa].

Di dalam perayaan suatu hari raya, di dalamnya terkandung keyakinan-keyakinan dari agama-agama tertentu, maka tatkala seorang muslim ikut serta di dalam suatu perayaan atau pesta hari raya orang kafir, maka merupakan suatu kepastian dia akan terjerumus ke dalam kesesatan yang ada pada agama-agama mereka dan mungkin juga akan terjerumus ke dalam kesyirikan.

Hari Raya –Ied- Merupakan Momentum Peribadahan
Kita tahu bahwasanya setiap umat memiliki hari-hari khusus sebagai hari raya mereka, yang mereka memfokuskan di dalamnya dengan berbagai macam keyakinan mereka dan ajaran-ajaran yang mereka dapat dengan turun-temurun. Bagi mereka, hari raya adalah merupakan suatu momentum ibadah, ketundukkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala atau perbuatan kefasikan atau kekejian, permainan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal itu terjadi dan kita dapati pada hari raya-hari raya kaum Nashara, di antaranya adalah hari raya awal tahun (tahun baru), dan hari raya akhir tahun (natal).

Adapun Ied –hari raya- di dalam Islam memiliki makna tersendiri saat mulai datangnya Islam, semua jejak-jejak peribadahan dihapuskan yang sebelumnya begitu diagungkan oleh penganutnya dan tidak tersisa sedikitpun. Islam mengarahkannya hanya untuk pengagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Islam menghadirkan dua hari raya yang dirayakan setelah dua ibadah yang sangat agung di dalam Islam:

  1. ‘Iedul Fithri, hadir setelah selesainya kewajiban shiyam Ramadlan, yang di dalamnya seorang muslim mencegah syahwatnya dan menahan keinginan-keinginan kemanusiaannya, mereka juga menghidupkan malam-malamnya dengan berdiri shalat di hadapan Allah Azza wa Jalla, sujud dan ruku’ dengan merendahkan dan menghinakan diri memenuhi seruan-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Yang di dalam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan itu terdapat satu malam yang merupakan malam terbaik dalam setahun, yakni Lailatul Qadar (malam kemuliaan).
  2. ‘Iedul Adha (hari berkurban), hari terakhir dari sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di dalam sabdanya:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

Tiada hari-hari yang amal-amal shalih lebih Allah cintai dari hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah)”. Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda : “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali“. [HR. Bukhari].

Di dalam riwayat lain disebutkan:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

Tiada haripun yang lebih agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah amal shalih lebih dicintaiNya di dalamnya daripada hari-hari yang sepuluh ini (sepuluh awal bulan Dzulhijjah) maka perbanyaklah tahlil, takbir, tahmid di dalamnya“. [HR. Ahmad dan Thabrani]

Hari raya ‘Idul Adha datang kepada kaum muslimin setelah berlalu hari-hari yang dipenuhi dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, siyam, shadaqah dan ibadah lainnya, datang kepada mereka sedangkan kaum muslimin yang lainnya berada di tanah suci memenuhi panggilanNya.

Ied (Hari Raya) Adalah Hari Ibadah
Kita tahu bahwasanya dua hari raya yang ada di dalam Islam dikaitkan oleh syariat dengan kaitan-kaitan yang disyariatkan, demikian pula disyariatkan di dalamnya ibadah-ibadah yang agung yang mengikatkan umat dengan agamanya. Seperti halnya di dalam ‘Idul Fithri, diwajibkan bagi kaum muslimin untuk berbuka dan diharamkan berpuasa pada hari itu.

Seorang muslim beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari tersebut dengan berbuka sebagaimana beribadah kepada-Nya dengan berpuasa pada hari–hari sebelumnya (bulan Ramadhan). Juga disyari’atkan didalamnya untuk bertakbir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan bertakbir –mengagungkan- Allah atas apa yang telah Dia berikan kepadamu agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur“.[al-Baqarah/2:185]

Pada hari raya ‘Idul Fithri Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan secara khusus dikeluarkannya zakat fithri yang diberikan kepada saudara sesama muslim yang kekurangan dan membutuhkan.

Sedangkan pada hari raya ‘Idhul Adha seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyembelih kurban, sebagai tanda peribadahannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya, juga sebagai tanda meneladani Nabi Ibrahim Alaihissallam (khalilur rahman/ kekasih Allah) saat di mana dia diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyembelih anaknya (Ismail Alaihissallam) dan beliau menyambutnya dengan penuh ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Begitu pula di samping ada pada dirinya rasa untuk mencontoh nabi Ibrahim Alaihissallam dengan menyembelih kurban bagi Allah Subhanahun wa Ta’ala, diapun siap siaga untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah.
Tidakkah umat mengambil pelajaran dari hal-hal seperti ini? Tidakah umat mengambil teladan dari kisah-kisah para syuhada’ yang mempersembahkan leher-leher mereka begitu murahnya untuk membela kalimat Allah?
Maka, tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya, diapun akan menunggu perintah untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

Seandainya dengan leher-leher mereka Allah akan ridha
Maka merekapun akan menyerahkannya dengan taat dan menerima perintah
Sebagaimana mereka menyerahkannya saat jihad

Kepada musuh-musuh mereka sampai darah mengalir dari leher-leher mereka
Namun mereka enggan untuk menyerahkan leher-leher mereka

Dan yang demikian adalah kehinaan bagi seorang hamba dan bukan ketinggian.

Hari Raya dan Takbir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia setelah ayat-ayat puasa:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan agar kalian sempurnakan bilangannya dan agar kalian bertakbir –mengagungkan- kepada Allah atas apa yang telah Allah berikan kepada kalian, dan agar kalian bersyukur“. [al-Baqarah/2:185]

Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Iedul Fithri sambil bertakbir sampai ke musholla dan sampai selesai shalat, dan apabila shalat selesai, beliau menghentikan takbir.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling baik tentang masalah takbir yang dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama Salaf dan Fuqaha dari kalangan sahabat dan para Imam adalah bertakbir mulai pagi hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai akhir dari hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) setelah shalat, dan disyariatkan bagi tiap orang untuk menjaharkan (mengkeraskan suara) saat bertakbir ketika keluar untuk ‘Ied, dan hal ini berdasarkan kesepakatan para Imam yang empat. Dan adalah Ibnu ‘Umar apabila keluar –ke mushalla- pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha menjaharkan takbir sampai ke mushalla kemudian bertakbir sampai datangnya Imam”[1].

Tatkala kita jumpai jalan-jalan penuh dengan orang-orang menuju mushalla (lapangan) sambil mengumandangkan takbir dengan suara yang nyaring, dengan menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka pemandangan semacam ini akan membangkitkan ruh kekuatan dan kemulian bagi umat. Bagi orang yang menyaksikan akan merasakan bahwasanya umat terikat dengan diinnya dan tidak akan berpaling dan mengarahkan wajah kepada selain Allah. Allah adalah Maha Besar bagi mereka dibandingkan segala sesuatu yang diagungkan oleh seluruh manusia selain-Nya, dengan penuh kecintaan, pengharapan, takut dan pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Di Hari Raya
Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Ied pada dua hari raya –‘Iedul Fithri dan Iedul Adha- di mushalla (lapangan), yang letaknya di pintu kota Madinah bagian timur. Beliau memakai pakaian yang paling baik, beliau juga memiliki selendang yang beliau pakai saat dua hari raya dan hari jum’at. Dan sebelum pergi ke mushalla pada ‘Iedul Fithri, beliau makan beberapa biji kurma dan beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil. Adapun pada ‘Iedul Adha beliau tidak makan sampai beliau kembali dari mushalla, dan belaiu makan dari sembelihan kurban.

Beliau mandi pada dua hari raya, ada hadits dari beliau tentang masalah ini, dan juga terdapat dua hadits yang dha’if dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu dari riwayat Jabarah Ibnu Mughlis dan hadits faqih Ibn Da’id dari riwayat Yusni Ibn Kharij As-Samthi. Namun juga ada riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang dikenal kuat mengikuti Sunnah, bahwa beliau mandi pada hari ‘Ied sebelum pergi ke lapangan.

Beliau membuka khuthbahnya dengan pujian kepada Allah, dan tidak terdapat riwayat yang shahih bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir pada dua hari raya. Dan beliau memberi keringanan bagi orang yang menghadiri ‘Ied untuk duduk mendengarkan khutbah atau tidak mendengarkannya. Juga beliau memberikan keringanan bagi kaum muslimin, apabila hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup diadakan shalat Ied dan tidak diadakan shalat Jum’at.

Dan pada hari ‘Ied beliau mengambil jalan yang berbeda antara pergi dan pulangnya, ada yang mengatakan hikmahnya adalah untuk memberi salam kepada orang-orang yang melewati jalan tersebut. Ada juga yang mengatakan agar orang-orang yang melewati jalan-jalan tersebut mendapati berkahnya. Ada juga yang mengatakan untuk menunaikan kebutuhan dari orang-orang yang memiliki kebutuhan. Ada juga yang mengatakan untuk menampilkan syiar-syiar Islam ke segala penjuru yang beliau lalui. Ada juga yang mengatakan untuk menimbulkan kemarahan orang-orang munafiq tatkala melihat kemulian Islam dan para pemeluknya serta tegaknya syiar-syiar Islam. Ada juga yang mengatakan untuk memperbanyak persaksian dari tanah yang dilewati, karena orang-orang yang pergi ke masjid di antara langkah-langkahnya ada yang meninggikan derajat dan yang lain menghapuskan dosa-dosa sampai dia kembali ke rumahnya. Ada juga yang mengatakan -dan ini adalah pendapat yang paling shahih- bahwa yang beliau lakukan adalah untuk hikmah-hikmah yang telah disebutkan di atas dan hikmah-hikmah lain yang belum disebutkan[2].

Hari Raya dan Jama’ah
Pada hari ‘Ied disyariatkan shalat di awal siang dengan berjama’ah, baik kecil ataupun besar, tua ataupun muda, bahkan wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar orang-orang mengeluarkan wanita-wanita yang haidh dan gadis-gadis pingitan yang seyogyanya tidak diperkenankan untuk keluar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka keluar guna menyaksikan shalat dan untuk menyaksikan kebaikan dan do’anya kaum muslimin. Di dalam perirtiwa yang demikian terdapat makna jama’ah dan rasa pada diri umat bahwasanya mereka seperti satu tubuh, dan makna inilah yang dibutuhkan oleh umat.

Oleh karena itu syariat Islam datang untuk menegaskan hal tersebut dan menanamkannya di dalam jiwa kaum muslimin, dan Allah memberikan jaminannya bagi para hambaNya dengan dihilangkannya perpecahan dari mereka, yang hal itu merupakan aib jahiliyah dan Allah menjadikan mereka di dalam satu barisan, sebagaimana firmanNya:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا

Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian, tatkala kalian berada di dalam permusuhan, kemudian Allah jadilah kalian bersaudara dengan nikmatNya dan saat kalian berada di atas bibir jurang neraka kemudian Dia menyelamatkan kalian darinya”. [Ali Imran/3:103]

Maka Allahlah yang melunakkan hati-hati yang terdapat padanya permusuhan, kemudian Dia menyatukan hati-hati tersebut, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm saat beliau berkhutbah pada perang Hunain setelah terjadi apa yang telah terjadi pada para sahabat:

أَلَمْ آتِكُمْ ضُلاَّلاً فَهَدَاكُمُ اللهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللهُ بِي وَمُتَفَرِّقِيْنَ فَجَمَعَكُمُ اللهُ بِي

Bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan sesat kemudian Allah memberikan hidayahNya kepada kalian melalui aku, dan bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan miskin kemudian Allah jadikan kalian kaya dengan sebab aku, dan kalian berpecah belah kemudian Allah kumpulkan kalian lewat aku? [3]

Dari keterangan-keterangan di atas sebagian ahli ilmu berpendapat wajibnya shalat Ied dan wajibnya menghadirinya, sebagaimana dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Oleh karena itu kami rajihkan (kuatkan pendapat) bahwasanya shalat ‘Ied adalah wajib ‘ain, sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya, juga merupakan salah satu dari pendapat-pendapat Imam Syafi’i, dan salah satu pendapat dari dua pendapat Imam Ahmad. Adapun pendapat yang menyatakan tidak wajib adalah pendapat yang jauh, sebab shalat ‘Ied salah satu syiar Islam yang sangat agung, dan manusia berjama’ah untuk mendapatkannya melebihi shalat jum’at, juga disyari’atkan di dalamnya takbir. Adapun pendapat yang menyatakan fardhu kifayah tidaklah kuat[4].

Dan pendapat serupa juga dikatakan oleh Shidiq Hasan Khan rahimahullah, beliau berdalil: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ‘Ied selama hidupnya dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sekali, juga beliau memerintahkan manusia untuk keluar menunaikan ‘Ied, juga memerintahkan wanita-wanita muda dan para gadis pingitan serta wanita-wanita haid untuk keluar dan menyaksikan kebaikan dan do’anya kaum muslimin,” kemudian beliau berkata: “Semua itu menunjukkan akan wajibnya.”[5]

Beliaupun berdalil atas wajibnya shalat ‘Ied dengan perkataan: “Bahwa shalat ‘Ied menggugurkan shalat juma’at jika bertepatan dengan hari jum’at“.

Di sini bukan tempatnya untuk membahas hukum fiqih, akan tetapi banyak nash yang menguatkan untuk berjama’ah pada hari yang mulia tersebut. Di dalam shalat berjama’ah itu juga terkandung makna, bahwasanya umat ini adalah umat yang satu dan satu jama’ah yang besar. Mulai mereka berkumpul untuk shalat lima waktu, kemudian bertambah besar saat mereka berkumpul untuk mengadakan shalat jum’at, kemudian lebih besar lagi dan paling besar saat mereka berkumpul dari berbagai penjuru dunia di tempat yang sama dalam rangka memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan yang lebih menunjukkan makna jama’ah dan rasa satu tubuh adalah saat zakat fithri dikeluarkan oleh seorang muslim untuk menutupi kebutuhaan orang-orang yang membutuhkannya, atau untuk membahagiakan orang-orang yang tidak bahagia dengan datangnya ‘Ied. Sehingga merekapun dapat merasakan bahwa orang-orang yang membutuhkan makanan pada hari tersebut juga membutuhkannya di hari-hari yang lain, dan mereka yang membutuhkan pakaian pada hari tersebut juga membutuhkannya di hari-hari yang lain.

Begitu pula pada hari ‘Iedul Adha, saat seorang muslim menyembelih hewan kurbannya, diapun tidak melupakan saudara-saudaranya yang membutuhkan, dia bersedekah, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membagi-bagikan daging kurbannya itu kepada orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ

Dan makanlah kalian dari sembelihan tersebut dan berilah orang-orang fakir yang membutuhkan“. [Al-Hajj/22:8]

Hal itupun mengingatkan mereka bahwasanya orang-orang yang membutuhkan daging pada hari tersebut juga membutuhkannya pada hari-hari yang lain.

Hari Raya dan Tauhid
Sebagaimana di dalam ‘Ied terkandung makna jama’ah dan makna peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalamnya juga terkandung makna tauhid, hal itu tidaklah asing dan aneh, sebab tauhid adalah jalan bagi kehidupan manusia, maka saat tauhid seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lurus maka lurus pulalah kehidupannya, kepribadian dan akhlaknya. Dan saat hancurnya dasar dan fondasi ini maka akan hancur pula seluruh kehidupannya.

Pada hari ‘Iedul Adha seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah hewan kurbannya sebagai tanda rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah dia rasakan. Tidak sebagaimana orang-orang yang menyembelih hewan di hadapan bangkai-bangkai yang telah luluh lantak, tulang-tulang yang dimakan oleh masa atau karena mengikuti perintah para tukang sihir dan orang-orang yang dianggap pintar, yang hal itu merupakan perbuatan yang sangat kotor dan praktek kesyirikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Pemilik Alam semesta“. [Al-An’am/6:162]

Juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ

Allah melaknat orang yang menyembelih sembelihan untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah, Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah“. [HR. Muslim].

Tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya dia akan ingat bahwasanya orang-orang musyrik telah meremehkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah pada diri-diri mereka, mereka menghancurkan tauhid dan menghidupkan syirik dengan menyembelih sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah kurban bagi-Nya“. [Al-Kautsar/108:2]

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Rabb semesta alam yang tidak ada sekutu bagiNya dan untuk yang demikianlah aku diperintahkan dan aku bagian dari orang muslim“. [Al-An’am/6:162]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gigih dalam melindungi dan menjaga tauhid dari umatnya, bahkan tatkala seorang meminta idzin kepada beliau untuk menyembelih seekor unta –karena nadzar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala – maka beliaupun bertanya kepadanya: apakah di sana –di tempat tersebut- dirayakan hari raya jahiliyah atau terdapat berhala di antara berhala-berhala mereka? Kemudian ketika dia menjawab: tidak, maka beliaupun mengidzinkan nadzar tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya dan dibahas secara panjang lebar oleh Syaikh Abdurrahman Ali Syaikh di dalam Fathul Majid bab tentang Dabs.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwasanya sahabatnya tidaklah mengadakan penyembelihan dan kurban melainkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, akan tetapi beliau ingin membersihkan kaum muslimin dari segala macam sarana yang menghantarkan kaum muslimin kepada perbuatan-perbuatan syirik. Maka tidaklah boleh seseorang mengadakan penyembelihan bagi Allah di tempat yang dipakai untuk menyembelih sembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah. Dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disembah/diibadahi di tempat yang digunakan untuk beribadah kepada selain Allah.

Maka makna-makna inilah yang dirasakan oleh setiap muslim sambil bertakbir menuju ke mushallahnya.

Hari Raya Hari Berhias
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan hari ‘Ied di dalam Kitab-Nya dengan yaum Az-Zinah –hari berhias-

قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى

Dia berkata hari yang dijanjikan bagi kalian adalah hari berhias –‘Ied- dan agar manusia berkumpul pada waktu dhuha“. [Thaha/20: 59]

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai perhiasannya pada hari ‘Ied.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ‘Umar Ibn Al-Khathab Radhiyallahu ‘anhu melihat jubah dari sutra, kemudian dia membelinya untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hadiah baginya, kemudian Umar berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm : “Hendaklah anda berhias dengan ini untuk hari ‘Id dan menyambut tamu utusan.” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah baju bagi orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat)[6].

Dari hadits ini nampak bagi kita bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berhias untuk hari ‘Ied dan menyambut tamu utusan, para sahabat menginginkan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian terbaiknya di hari-hari khusus bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian penolakan beliau itu bukan penolakan untuk berhias, namun penolakan tersebut untuk mengambil perhiasan yang dilarang dan mengambil pakaian yang diharamkan. Karena tidaklah laki-laki memakai sutra kecuali tidak akan memiliki bagian di akhirat kelak.

Dan kebiasaan Ibnu ‘Umar memakai pakaian terbaiknya saat tiba dua hari raya. [7] Perhiasan adalah tanda yang paling menonjol yang membedakan hari raya dengan hari-hari lainnya, namun kaum muslimin sekarang pada umumnya memahami dengan pengertian yang lain. Di antara mereka ada yang berhias dengan mencukur jenggotnya, padahal hal ini merupakan penyerupaan dengan pelaku-pelaku kesyirikan dan menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian mereka juga yang mengulurkan pakaianya –baik sarung atau celana dan yang lainnya- melebihi dua mata kaki, hiasan semacam ini tidak semestinya bagi seorang muslim, bahkan seharusnya seorang muslim melihat bahwa yang demikian justru mengotori perhiasan, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

Tiga golongan yang Allah tidak mengajak bicara mereka pada hari kiamat, tidak akan melihat mereka, dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih”. Abu Dzar bertanya: “Betapa kecewa dan meruginya mereka, siapa mereka wahai Rasulullah? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-musbil (orang yang mengulurkan pakaiannya di bawah mata kaki), Al-Mannan (orang yang mengungkit-ngungkit pemberian), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu“. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat At-Targhib wat Tarhib oleh Al-Mundziri].

Kita juga lihat para wanita mereka menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, hal ini merupakan penyimpangan yang sangat besar, baik dilihat dari sisi syariat maupun fitrah yang lurus, padahal Allah telah memerintahkan adalah agar para wanita mempercantik diri dan berhias dengan hijabnya dan kesuciannya yang merupakan pakaian yang telah Allah khususkan bagi mereka dan juga Allah perintahkan mereka agar menutupi diri mereka dengan hijab tersebut.

Seorang muslim haqiqi haruslah menolak untuk berhias dengan segala apa yang telah Allah haramkan, dan tatkala dia melihat pakaian tersebut atau orang yang memakainya maka dia melihatnya dengan penilaian hal tersebut adalah aib, tidak sesuai dengan fitrah, bahkan bertentangan dengan apa yang telah diperintahkan. Maka pakaian dan perhiasan yang sempurna pada hari ‘Ied adalah yang menghiasi seseorang dengan peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pakaian Takwa Adalah  yang Paling Baik
Tatkala seorang muslim memperhatikan dirinya dan melihat ke cermin dan melihat dirinya sudah berhias secara dhahir dan memeperhatikan segala apa yang merusak penampilannya secara dhahir, dan dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah dirinya sudah tampan ? Tetapi bagaimanakah dengan penampilannya secara batin? Bagaimana dengan perhiasan taqwa dan iman? Apakah setelah dia memperbaiki penampilan dhahir juga memperbaiki penampilan batin?

Apabila badan sudah memakai perhiasannya, apakah hatinya juga akan dipakaikan perhiasan? Kemudian akan muncul lagi pertanyaan-pertanyaan lain pada dirinya. Apa yang akan dilakukan apabila kotoran menimpa pakaiannya? Bukankah dirinya akan bersegera untuk menghilangkan dan membersihkannya? Dan bagaimana dengan dosa-dosa yang telah mengotori hatinya? Berapa banyak perbuatan dan dosa-dosa yang telah mengotori hatinya? Berapa banyak perbuatan dosa yang sudah mencemari kesucian dan kemurniannya? Apakah dia ridha dengan kotoran-kotoran (dosa-dosa) tersebut dan bangga dengannya?.

Seseorang bersedia untuk menyerahkan uangnya untuk membersihkan kotoran-kotoran dari pakaiannya demi penampilan yang sempurna, namun bagaimana bisa terjadi seseorang tidak ridha dengan kotoran-kotoran dhahir, tetapi dia ridha dengan kotoran-kotoran bathin? Bahkan lebih dari itu. Dia malah berusaha dan mencari kotoran-kotoran bathin! Laa haula walaa quwwata illa billah.

Orang-orang semacam ini tatkala menyadari keadaannya, hendaklah bersegera untuk menghapuskannya dan membersihkannya dengan taubat nasuha dan mengangkat dua tangannya memohon ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika seseorang berkata: “Aku telah menyempurnakan perhiasan dhahir dan akan berusaha untuk menyempirnakan perhiasaan bathin, kemudian dia membaca”:

يَابَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Wahai anak Adam sesungguhnya telah Kami turunkan bagi kalian pakaian yang dapat kalian pergunakan untuk menutupi aurat kalian dan pakaian taqwa adalah lebih baik, yang demikian merupakan bagian dari ayat-ayat Allah agar mereka mau berfikir”. [Al-A’raf/7:36]

Demikianlah penjelasan sekilas tentang makna hari raya di dalam Islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Amiin

(Dialihbahasakan oleh  Abu ‘Abdillah T. Abdul Ghanie Naasih Salim, dari kaset yang berjudul : Al-‘Ied Wa Ma’naahu fil Islam yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais, dengan perubahan di beberapa tempat)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 104/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Al-Fatawa
[2] Diambil dari Zadud Ma’ad dari berbagai tempat
[3] Lihat Zaadul Ma’ad
[4] Lihat Al-Fatawa
[5] Lihat Raudhatun Nadiyah
[6] Lihat Zaadul Ma’ad
[7] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani di dalam Al-Fath


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/33273-hari-raya-dan-maknanya-dalam-islam-2.html